Oleh
Alit Adi Sanjaya
Infeksi merupakan masalah yang besar dalam dunia kedokteran dan telah menghabiskan dana yang sangat besar serta menyedot perhatian dokter dan paramedis. Infeksi ataupun penyakit akibat infeksi telah menyebabkan kematian sebesar 13 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia (International Atomic Energy Agency, 2000). Empat puluh tiga persen kematian di negara-negara tersebut disebabkan oleh penyakit infeksi, sedangkan di negara-negara maju hanya sebesar 1% karena penyebab utama kematian adalah kanker (Machi, 2002). Organisme patogen diyakini sebagai penyebab terhadap ratusan dari ribuan infeksi serius di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan laju kematian akibat infeksi patogen berkisar antara 50-70% (Walker, 1989). Kematian yang besar tersebut sebenarnya dapat dicegah jika diagnosa yang tepat dan cepat dapat ditegakkan dan penanganan yang efektif dapat dilakukan (International Atomic Energy Agency, 2000).
Manusia dan hewan mempunyai banyak flora normal yang biasanya tidak menimbulkan penyakit, tetapi mencapai suatu keseimbangan yang menjamin kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri inang. Beberapa bakteri yang merupakan penyebab penting penyakit dibiak secara umum dengan flora normal (misalnya Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus). Kadang-kadang terdapat bakteri yang jelas bersifat patogen (misalnya Salmonella typhi), tetapi infeksi tetap laten atau subklinis dan inang menjadi “pembawa” bakteri. (Jawet, et al. 1996).
Sejak awal perkembangannya pada dua warsa lalu bioteknologi semakin banyak mendapat perhatian dan berperan pada sektor-sektor penting dalam kehidupan kita. Tidak ketinggalan teknologi ini telah merambah ke berbagai aspek di bidang kesehatan termasuk diagnosis, pencegahan, dan pengobatan berbagai penyakit. Teknik-teknik diagnosis molekuler serta deteksi dini penyakit infeksi dan penyakit-penyakit genetis telah dikembangkan (Nuswantara, 2002).
Penelitian untuk mendapatkan obat-obatan, hormon, dan vaksin generasi baru terus berjalan. Berbagai jenis obat dan vaksin rekombinan yang dibuat dengan teknik rekayasa genetika telah dikembangkakn dan diproduksi secara besar-besaran dengan keunggulan-keunggulan yang tidak didapatkan pada produk sebelumnya. Deteksi dengan sistem dip-stick untuk penyakit-penyakit infeksi dan berbagai fungsi faal tentang manusia yang hasilnya dapat diketahui secara instan dan memasuki pasaran bebas. Berbagai obat anti inflamasi seperti rheumatoid, arthritis, terapi gen untuk kanker serta bermacam-macam vaksin kini telah menunggu ijin percobaan klinis (Nuswantara, 2002).
Mikrobiologi diagnostik mencakup perincian beribu-ribu penyebab yang menimbulkan dan yang berkaitan dengan penyakit menular. Teknik yang digunakan untuk mencirikan penyebab itu sangat bergantung pada sindroma klinik dan tipe penyebab yang dicurigai, apakah vitus, bakteri, jamur atau parasit lainnya. Karena tidak satupun uji tunggal yang memungkinkan isolasi atau pencirian semua patogen potensial. Sebelum hasil laboratorium diperoleh dokter harus membuat diagnosis sementara (Jawet, et al. 1996).
Keberhasilan kesehatan modern di antaranya ditentukan oleh kemampuan untuk mendeteksi virus, bakteri, jamur, parasit, protein dan molekul kecil tertentu di dalam tubuh manusia. misalnya pencegahan, pengendalian dan pengobatan penyakit infeksi umumnya dipengaruhi oleh identifikasi awal dan tepat dari organisme penyebab penyakit. Banyak prosedur deteksi memerlukan pembiakan pada kultur dan dilanjutkan dengan analisis sifat fisiologis yang mengarah pada identifikasi. Walaupun uji seperti itu efektif dan cukup spesifik, biasanya memerlukan waktu yang lama. Sedangkan jika organisme patogen itu tidak dapat tumbuh maka kemungkinan untuk mendeteksi organisme tersebut menjadi sangat sulit (Sudjadi, 2008).
Banyak mikroorganisme tumbuh dengan lambat, dan berhari-hari atau sampai berminggu-minggu lamanya sebelum diisolasi dan diidentifikasi. Ketika memperoleh hasil laboratorium, dokter akan mengevaluasi diagnosis yang dihasilkan dalam hasil laboratorium. Dalam mempelajari tentang diagnostik sangat berkaitan dengan diagnosis etiologi dari infeksi. Prosedur laboratorium yang digunakan dalam diagnosis penyakit infeksi pada manusia adalah sebagai berikut (Jawet, et al. 1996).
a. Identifikasi morfologik penyebab dalam bahan pewarnaan atau sayatan jaringan (mikroskop cahaya dan elektron).
b. Isolasi biakan dan identifikasi penyebab.
c. Deteksi antigen penyebab melalui uji coba imunologik (aglutinasi lateks, EIA, dll.) atau pewarnaan antibodi berlabel-fluoresein (atau berlabel-peroksidase).
d. Hibridisasi DNA-DNA atau RNA-RNA untuk mendeteksi gen spesifik patogen pada bahan yang berasal dari pasien.
e. Diperlihatkannya antibodi atau respon imun berperantara sel yang bermakna terhadap suatu penyebab infeksi.
Dalam bidang penyakit infeksi, hasil uji laboratorium sebagian besar bergantung pada kualitas bahan, waktu dan cara pengumpulannya serta kecakapan dan pengalaman teknik petugas laboratorium. Walaupun dokter harus kompeten dalam melakukan beberapa uji sederhana, rincian prosedur uji mikrobiologik yang menentukan – membuat dan memulas suatu apusan, memeriksa secara mikroskopik, dan penamaan pada lempeng biakan biasanya diserahkan kepada staf bakteriologi atau virulogi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar